Sejarah Asal-usul Permuseuman di Indonesia

Sejarah Asal-usul Permuseuman di Indonesia

Sejak kehadiran manusia di muka bumi sudah memperlihatkan kegemaran mengumpulkan sesuatu yang dipandang menarik atau unik. Hal ini ditunjukkan oleh adanya temuan-serta pada makam-makam prasejarah di berbagai negara. Kemungkinan besar temuan-temuan itu merupakan benda-benda koleksi si mati semasa hidup.

Kegemaran mengumpulkan benda rupa-rupanya sudah dikenal sejak lama sebagaimana tergambar dari kata museum (Yunani, mouseion), yakni ‘kuil untuk memuja dewi-dewi inspirasi, pembelajaran, dan patron seni’ (Akbar, 2010: 3). Di Mesopotamia museum dalam bentuknya yang paling primitif, dikenal pada awal milenium ke-2 SM. Di Sumeria pada abad ke-6 SM, menurut Kotler (2008) yang dikutip Akbar (2010), para raja sudah mengoleksi benda-benda antik. Koleksi-koleksi tersebut disimpan di ruangan dekat kuil mereka masing-masing.

Sejarah Museum di Dunia

Di Eropa terutama Yunani dan Romawi, benih-benih permuseuman lahir akibat peperangan. Biasanya kerajaan yang menguasai wilayah lain akan membawa banyak pampasan perang. Keadaan yang lebih baik mulai terjadi setelah masa Renaisans atau ‘Kelahiran Kembali’ pada abad ke-15 M. Renaisans terkait dengan ilmu pengetahuan dan kalangan elit (bangsawan, hartawan, tokoh politik, dan pemuka gereja).

Lahirnya museum juga tidak lepas dari hobi kalangan terpelajar dan bangsawan Eropa untuk mengumpulkan benda-benda kuno. Ketika itu benda-benda kuno terlebih yang dianggap menarik, indah, aneh, atau langka, amat diminati. Apalagi yang berasal dari suatu zaman yang disebut-sebut oleh kitab sejarah, legenda, atau dongeng. Kalangan ini lazim disebut antiquarian.

Sifat kritis dan selalu ingin tahu menjadi ciri pikiran orang Eropa, sehingga berbagai ilmu berkembang dengan pesat. Bersamaan dengan itu, para pedagang barang antik juga mempunyai naluri bisnis. Mereka sering bepergian ke berbagai tempat, termasuk ke negara-negara non Eropa. Dari sana mereka membawa berbagai kisah dan benda dari negara-negara yang mereka kunjungi. Hal ini membawa kesadaran pada orang-orang Eropa bahwa di luar lingkungannya masih banyak terdapat kebudayaan lain.

Perkembangan hingga abad ke-17 memperlihatkan minat yang mula-mula terpusat pada sejarah bangsa Eropa, berkembang lebih luas. Akibat kegiatan orang-orang berada dan terpelajar, terkumpullah benda-benda kuno dalam jumlah besar. Benda-benda tersebut kemudian disimpan dalam suatu tempat. Mereka saling mempertontonkan koleksi, bahkan secara berkala mereka bertemu untuk mendiskusikan benda-benda tersebut. Namun ‘museum’ yang mereka bangun belum terbuka untuk umum, biasanya mereka hanya mengundang kalangan terbatas untuk berkunjung.

Asal-usul Permuseuman di Indonesia

Mencari rempah-rempah di Nusantara, sebenarnya merupakan tujuan utama bangsa Eropa datang ke sini. Sebagai negara tropis, tentu saja banyak hal tidak dapat dijumpai di Eropa. Rupa-rupanya mereka tertarik dengan flora, fauna, dan budaya Nusantara yang dianggap eksotik. Karena rasa keingintahuan yang besar, maka mereka melakukan berbagai ekspedisi dan penelitian ilmiah sampai ke daerah pedalaman.

Peneliti yang paling sering disebut adalah Georg Eberhard Rumpf (1628-1702). Dia seorang naturalis kelahiran Jerman tetapi bekerja untuk VOC. Pada 1660 ketika menjadi saudagar, Rumpf mulai tertarik kepada dunia alam Pulau Ambon. Pada 1662 dia mulai mengumpulkan berbagai spesies tumbuhan dan kerang di rumahnya. Sejak itu namanya lebih terkenal sebagai Rumphius sesuai selera ilmu pengetahuan pada zaman Renaisans yang gandrung akan nama-nama Latin atau Yunani.

Di Batavia, sejumlah orang Eropa mendirikan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada 24 April 1778. Berbagai benda arkeologi dan etnografi milik para kolektor dan cendekiawan dikumpulkan di sini, antara lain milik J.C.M. Radermacher (1741-1783) dan Egbert Willem van Orsoy de Flines (1886-1964). Radermacher adalah kolektor numismatik, sementara Orsoy de Flines adalah kolektor keramik. Lembaga ini menjadi cikal bakal Museum Nasional.

Raden Saleh Syarif Bustaman (1814-1880) selain sebagai pelukis, dikenal sebagai bangsawan dan ilmuwan. Dia sering melakukan perjalanan budaya ke Jawa untuk mencari benda-benda arkeologi dan manuskrip yang masih dimiliki oleh keluarga-keluarga pribumi. Bahkan Raden Saleh sering kali melakukan ekskavasi untuk mencari fosil. Sumbangan Raden Saleh terhadap Bataviaasch Genootschap dinilai sangat besar. Demikian pula F.W. Junghuhn (1809-1864). Dia menyumbangkan temuan-temuan fosil mamalia. Sumbangan lain untuk Bataviaasch Genootschaap datang dari Bupati Galuh, Kinsbergen, dan Canter Visscher.

Di tanah Jawa beberapa bangsawan juga menaruh perhatian besar pada bidang kebudayaan. Pada masa pemerintahan Paku Buwono IX, K.R.A Sosrodiningrat IV berperan mendirikan Museum Radya Pustaka (1890) di Surakarta. Museum ini mendapat dukungan dari kalangan keraton, seperti R.T.H. Joyodiningrat II dan G.P.H. Hadiwijaya. Museum Sonobudoyo di Yogyakarta berawal dari Java lnstituut yang bergerak dalam bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Yayasan itu berdiri pada 1919 di Surakarta dipelopori oleh sejumlah ilmuwan Belanda. Museum Sonobudojo diresmikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada 6 November 1935.

RA.A. Kromojoyo Adinegoro mempunyai andil dalam mengumpulkan koleksi di daerah Trowulan, Jawa Timur. Pada 1912 dia mendirikan Museum Mojokerto, namun sisa-sisanya sukar dilacak kembali. Pada 1924 arsitek Belanda Ir. Henry Maclaine Pont mendirikan Oudheidkundige Vereniging fvlajapahit (OVM). Museum Mpu Tantular, juga di Jawa Timur, merupakan kelanjutan dari Stedelijk Historisch Museum Surabaya, didirikan oleh Godfried Hariowald Von Faber pada 1933 dan diresmikan pada 25 Juni 1937. Selain di Jawa, museum sejarah dan kebudayaan didirikan di Bali. Pemrakarsanya adalah Dr. W.F.J. Kroon didukung para raja dan bangsawan Bali. Museum Bali dibuka secara resmi pada 1932. Di Bukittinggi pada 1935 diresmikan Museum Rumah Adat Baanjuang. Pendirinya adalah seorang Belanda, Mondelar. Museum-museum tersebut umumnya merupakan bagian dari bidang sejarah dan kebudayaan.

Museum-museum bersifat ilmu pengetahuan sains didirikan di Bogar, yakni Museum Zoologi (1894). Pendirinya adalah Dr. J.C. Koningsberger. Di Bandung, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Museum Geologi (1929).

Demikianlah sedikit gambaran tentang upaya pendirian museum yang dilakukan oleh kalangan bangsawan, kolektor, dan cendekiawan.

 

Sejarah Asal-usul Permuseuman di Indonesia

You May Also Like

About the Author: Lenterakecil-NET

Sekedar berbagi inspirasi, motivasi, serta pengetahuan dan informasi melalui internet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *